Sabtu, 01 Januari 2011

NASHIRUDDIN al-ALBANI & WOLFGANG from GURUN GOBI.=Vol.3/3.--> 1/....






( kenapa hanya Madzhab Empat yang dihantam )

Taqlid - Dalam sorotan alBani al-Hanafi  & al-Khajandi al-Mutazili 

orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat. $. Albani's Mania.

 Daftar isi dibagi menjadi “bab 3 diantaranya:

1. Dalil kewajiban ber
Taqlid ketika tidak mampu berijtihad.
2. Pembelaan al-Alban
i al-Hanafi  terhadap  Syeikh Khajand al-Mu’tazilii
3. Dialog antara Dr.Sa'id Ramdhan al-Buuthi dengan anti madzhab
.
4. Tidak boleh mencari-cari keringanan ajaran yang paling mudah dan ringan dari Ulama
.

Sebagian golongan ada yang mengikuti ulamanya yakni ikut melarang, membid’ahkan, mencela keras bahkan sampai berani mengkafirkan orang-orang muslim yang mengikuti salah satu dari
Madzhab yang Empat (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali [ra] ). Ulama golongan ini berkata:

“Sesungguhnya ilmu
Fiqh dan syariat Islam yang anda ajarkan selama ini dengan susah payah itu sebenarnya hanyalah buah pikiran para Imam Madzhab yang tentang masalah hukum yang mereka rangkaikan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Empat
Madzhab itu adalah suatu bid’ah yang diadakan dalam agama Islam serta mereka ini sama sekali bukan dari Islam. Kitab-kitab Empat Imam ini ialah kitab-kitab yang bisa membawa kehancuran (Kutub al-Mushaddiah)”.

Ulama yang melarang
  ini telah membuat heboh dunia Islam karena beliau telah mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti salah satu dari Empat Madzhab. Nama Ulama yang melarang ini adalah Syekh Khajandi yang menulis dalam kitabnya : Halil Muslim Multazamun Bittibaa’i Madzhabin Mu’ayyan Minal Madzaahibil Arba’ah. 


Ayat yang disandera.....albani's FC.

Syekh Khajandi -- juga mengatakan bahwa orang-orang yang taqlid kepada imam-imam mujtahid adalah orang yang bodoh, tolol dan sesat.

Mereka ini telah memecah belah agama sehingga menjadi beberapa golongan dan mereka inilah yang dimaksudkan firman Allah swt. dalam surat At-Taubah : 31 :

Mereka menjadikan orang-orang alim dan para rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.

Dan firman Allah pada surat Al- Kahfi : 103-104 :

” katakanlah (wahai Muhammad)(saw); Maukah kalian Kami tunjukkan tentang
orang-orang yang merugi amal ibadahnya..? Yaitulah orang-orang yang sia-sia
perbuatannya dalam kehidupan dunia sedangkan mereka menyangka
bahwa merekalah yang berbuat sebaik-baiknya
.”


Syekh Khajandi dan orang-orang yang sepaham dengannya, sangat keterlaluan didalam upaya merendahkan dan menjatuhkan martabat para imam madzhab yang sudah diakui sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang oleh ulama-ulama pakar dunia.

Syekh Khajandi
-- ini sama halnya dengan golongan wahabi/salafi merasa dirinya yang paling pandai, suci dan paling mengerti tentang hukum-hukum Islam sehingga mudah mensesatkan atau mengkafirkan orang-orang muslimin yang mengikuti suatu amalan yang tidak sepaham dengan mereka.Ayat yang ter sandera

Berikut ini sebagian isi kitab Syeikh Khajandi
yang sangat berbahaya dan membingungkan ummat Islam yang saya kutip dari kitab Argumentasi Ulama Syafi’iyah oleh Ustadz Mujiburrahman. Begitu juga dalil-dalil Syeikh Khajandi ini yang mengarahkan sesat, bodoh perilaku orang yang berTaqlid terhadap salah satu dari Imam Empat itu, walaupn yang Taqlid itu tergolong orang awam.

Setiap dalil yang Syeikh Khajandi tulis saya akan tulis jawabannya sekali menurut Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan al-Buuthi dalam kitabnya ‘Al-laa madzhabiyyah Akhthoru bid’ah tuhaddidus syari’atal Islamiyyah’ .

l/. Syekh Khajandi
-- berkata; bahwa Islam itu tidak lebih dari hukum-hukum yang sederhana yang dengan mudah dapat dimengerti oleh orang arab atau muslim manapun. Beliau membuktikan kebenaran pernyataannya ini dengan mengetengahkan beberapa dalil berikut ini :

PERTAMA
: Hadits Jibril as. ketika bertanya kepada Rasulullah saw. tentang makna Islam. Kemudian Rasulullah saw menjawab dengan menyebutkan rukun-rukun Islam yang lima. Tidak lebih dari itu !

KEDUA
: Hadits tentang seseorang yang mendatangi Rasulullah saw. seraya berkata : ‘Wahai Rasulullah (saw), tunjukkanlah kepadaku satu perbuatan yang apabila aku kerjakan, maka aku akan masuk surga’. Lalu Rasulullah saw. bersabda ; ‘Bersaksilah bahwa tidak ada Tuhan selain Allah…...........sampai akhir hadits’ “.

KETIGA
: Hadits tentang seseorang yang datang dan mengikat Ontanya dimasjid Rasulullah saw., kemudian masuk menghadap Nabi saw. dan bertanya tentang rukun Islam yang paling penting.

Selanjutnya berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Syeikh Khajandi ini menegaskan bahwa Islam itu tidaklah lebih dari beberapa kata dan beberapa hukum yang sederhana yang bisa dipahami oleh setiap muslim, Arab ataupun non Arab.

Hal ini karena setelah Nabi saw.menyebutkan tentang rukun Islam yang lima, lelaki yang bertanya itupun langsung pergi dan tidak menoleh lagi. Ini membuktikan bahwa rukun-rukun Islam itu adalah satu permasalahan yang mudah dan penjelasannya tidaklah perlu sampai Taqlid kepada seorang Imam atau menetapi seorang Mujtahid. Madzhab-madzhab yang ada tidaklah lebih dari sekedar pemahaman para ulama terhadap beberapa masalah. Allah swt serta Rasul-Nya tidaklah pernah mewajibkan seorangpun untuk mengikutinya.

Jawaban :
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi mengomentari ucapan Syeikh Khajandi diatas sebagai berikut
:

“Seandainya benar bahwa hukum-hukum Islam itu terbatas pada masalah-masalah yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada orang Arab badui (pedusunan/pegunungan), lalu pergi dan tidak memerlukan penjelasan lagi, niscaya tidaklah kitab-kitab Shahih dan musnad-musnad itu dipenuhi oleh ribuan Hadits yang mengandung berbagai macam hukum yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin.

Begitu juga Rasulullah saw pun tidak akan berlama-lama berdiri hingga keletihan untuk memberi pelajaran kepada utusan Tsaqif tentang hukum-hukum Allah swt. dan itu terjadi selama beberapa hari.

Penjelasan Rasulullah saw tentang Islam dan rukun-rukunnya adalah sesuatu yang berbeda dengan pengajaran tentang bagaimana melaksanakan rukun-rukun tersebut. Yang pertama membutuhkan waktu tidak lebih dari beberapa menit sedangkan yang terakhir membutuhkan kesungguhan dalam belajar dan juga disiplin. Oleh karena itulah, maka utusan yang hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk memahami rukun Islam itu selalu saja diikuti oleh seorang sahabat yang khusus dipersiapkan guna tinggal bersama dan mengajari mereka berbagai hukum Islam dan kewajiban-kewajibannya.

Maka diutuslah Khalid bin Walid r.a. ke Najran, Ali bin Abi Thalib kw, Abu Musa al-Asy’ari r.a.
dan Muaz bin Jabal r.a. ke Yaman, Utsman bin Abi ‘Ash r.a. ke Tsaqif. Mereka [ra] ini diutus kepada orang- orang-orang yang sekelas (sederajat ilmunya) dengan orang Arab badui yang oleh Syeikh Khajandi dijadikan sebagai dalil bahwa mereka ini dapat memahami Islam dengan cepat. (Tidak lain) tujuan para sahabat (yang diutus ini) adalah untuk mengajari mereka rincian hukum-hukum Islam sebagai tambahan dari pengajaran dan penjelasan yang telah diberikan oleh Rasulullah saw.

Memang pada masa awal Islam permasalahan-permasalahan yang menuntut solusi dan penjelasan tentang hukum-hukumnya masih sangat sedikit. Hal ini karena daerah kekuasaan Islam dan jumlah kaum muslimin saat itu masih sedikit.
Akan tetapi masalah/problem ini bertambah banyak seiring dengan meluasnya daerah kekuasaan Islam dan banyaknya adat-istiadat yang tidak ada sebelumnya.

Terhadap semua masalah ini haruslah ditemukan hukumnya, baik yang bersumber dari Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas (analogi) ataupun Istishab. Inilah dia sumber-sumber hukum Islam. Karenanya tidaklah ada hukum Islam kecuali yang dinyatakan oleh salah satu dari sumber-sumber ini.

Bagaimana mungkin memisahkan antara Islam dengan apa yang telah disimpulkan oleh ke empat imam madzhab dan orang-orang setaraf (selevel) mereka dari sumber-sumber hukum Islam yang pokok ini…? Bagaimana Syeikh Khajandi itu bisa mengatakan ; ‘Adapun madzhab-madzhab yang ada hanyalah pendapat para ulama dan ijtihad mereka terhadap suatu masalah. Allah swt dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikuti pendapat, ijtihad serta pemahaman-pemahaman mereka itu‘.

Ucapan Syeikh Khajandi ini sama persis dengan ucapan seorang orientalis Jerman yang bernama Sheckert dimana dengan sombong dan kasar mengatakan; ‘Fi
qh Islam yang ditulis oleh para imam madzhab adalah hasil dari produk pemikiran hukum yang istimewa yang diperindah dengan mengait-ngaitkannya kepada Al-Qur’an dan Sunnah’.

Rasulullah saw. telah mengutus para sahabat-yang memiliki keahlian dalam menghafal, memahami dan menyimpulkan suatu hukum-kepada beberapa kabilah dan negeri serta menugaskan mereka untuk mengajarkan hukum-hukum Islam, haram-halal kepada ummat. Telah menjadi kesepakatan bahwa mereka akan ber-ijtihad jika mereka kesulitan menemukan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan Hadits. Rasulullah saw. pun menyetujui kesepakatan mereka itu.

Hadits Muadz bin Jabal.

Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dari Syu’bah ra. bahwa ketika Nabi saw. mengutus Mu’adz bin Jabal r.a. ke Yaman, beliau saw.bersabda : " Apa yang akan kamu perbuat jika kamu menghadapi
satu perkara ? ".

Mu’adz bin Jabal r.a.menjawab
: Saya akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah.

Rasulullah saw. kembali bertanya : Jika tidak ada dalam Kitabullah..

Mu’adz bin Jabal r.a. menjawab
: Saya akan putuskan dengan Sunnah Rasulallah. Rasulallah bertanya lagi : ‘Jika tidak ada dalam Sunnah Rasulallah…

Mu’a
dz bin Jabal r.a. menjawab : Saya akan berijtihad dengan pendapatku
dan saya tidak akan melebihkannya
.

Mu’adz bin Jabal r.a. berkata     : Rasulullah saw pun akhirnya menepuk-nepuk dada saya dan bersabda : " Segala puji bagi Allah (swt) yang telah menjadikan utusan Rasul-Nya sesuai dengan apa yang diridhoi olehnya ".

Inilah
Ijtihad dan pemahaman Ulama dari kalangan Sahabat. Mereka menggunakannya untuk memutuskan hukum dan menerapkannya ditengah-tengah masyarakat. Langkah mereka ini telah disetujui bahkan dipuji oleh Nabi kita Muhammad saw. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa Madzhab-madzhab itu adalah Iijtihad dan pemahaman-pemahaman yang Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan siapapun untuk mengikutinya.

Dengan demikian, maka hukum Islam itu tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi yang hanya berargumentasi dengan beberapa dalil yang sudah kami kemukakan itu.
Hukum Islam itu meluas dan mencakup hal-hal yan berkenaan dengan sisi-sisi kehidupan, baik itu pribadi maupun sosial dalam berbagai situasi dan kondisi. Semua hukum-hukum itu kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
Baik secara langsung melalui dilalah dhahirnya yakni kandungan hukumnya yang memang sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lagi maupun melalui perantara penelitian, ijtihad dan istinbath.

Mana saja diantara dua cara ini yang ditempuh oleh kaum muslimin untuk memahami hukum, maka itulah hukum Allah yang terbebankan pada dirinya dan dia haruslah tetap pada hukum tersebut. Itulah pula hukum yang harus diberikan kepada siapapun yang datang meminta fatwa kepadanya. Kalau benar bahwa hukum Islam itu adalah sesederhana yang digambarkan oleh Syeikh Khajandi, maka apalah artinya Rasulullah saw. mengutus para sahabat pilihan ke berbagai kabilah dan negeri…?

2/. Syeikh Khajandi berkata
: bahwa dasar berpegang teguh kepada Islam adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya inilah yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan.

Adapun mengikuti imam-imam madzhab, maka samalah artinya dengan kita telah merubah diri. Semula kita mengikuti yang ma’shum yakni Qur’an dan Sunnah kemudian pindah mengikuti yang tidak ma’shum yakni imam-imam madzhab itu.
Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa kedatangan madzhab-madzhab yang empat itu hanyalah untuk menyaingi madzhab Rasul
ullah saw.

Jawaban :
Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi menjawab atas ucapan-ucapan Syeikh Khajandi ini sebagai berikut :

“Ma’shumnya Al-Qur’an adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah melalui firman-Nya itu. Dan ma’shumnya sunnah atau
Hadits adalah apabila sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Nabi saw. melalui Haditsnya itu.

Adapun pemahaman manusia terhadap Al- Qur’an dan Hadits itu sangatlah jauh dari sifat ma’shum, walaupun itu dari golongan mujtahid apalagi dari golongan orang awam.
Kecuali nash-nash Al-qur’an dan
Hadits yang termasuk dalil dalil qath’i (pasti) dan yang membahasnya adalah orang-orang Arab yang mengerti kaidah-kaidah bahasa Arab, maka kema’shuman pemahamannya itu lahir dari keqath’iyyan (kepastian) dalil tersebut.

Apabila sarana untuk mengambil hukum dari Al-Qur’an dan Hadits adalah pemahaman, sementara pemahaman terhadap keduanya adalah satu usaha yang tidak mungkin terlepas dari kesalahan selain yang sudah dikecualikan diatas - maka pemahaman mereka yang termasuk mujtahid pun tidak bisa dikatakan ma’shum, apa lagi pemahaman orang-orang awam.

Lalu apa artinya seruan kepada orang awam untuk meninggalkan taqlid dengan alasan bahwa Al-Qur’an dan Hadits bersifat ma’shum..?..Apakah jika pemahaman terhadap nash yang ma’shum diberikan kepada golongan awam, maka itu akan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah
swt dan Rasul-Nya..? Padahal diketika hal itu diserahkan kepada yang mujtahid pun kema’shuman pemahaman tetap tidak akan pernah terjadi.

Syeikh Khajandi
-- juga melalui ucapannya itu jelas memiliki persangkaan bahwa Ijtihad yang dilakukan oleh para imam madzhab itu tidak berasal dari sumber Al-Qur’an dan Hadits sehingga dikatakan bahwa Madzhab-madzhab tersebut berseberangan dengan Madzhab Rasulallah saw., dan kemunculannya hanyalah untuk menyaingi Madzhab Rasulullah saw tersebut. Sebuah persangkaan yang sangat keterlaluan…!

3/. Syeikh Khajandi berkata
: Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa jika seseorang wafat dia akan ditanya didalam kuburnya tentang madzhab dan aliran !

Jawaban :
Mengomentari ucapan ini Dr.Sa’id Ramdhan al-Buuthi berkata:

"Ucapan ini menunjukkan adanya anggapan beliau bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh Allah swt kepada ummat manusia hanyalah perkara-perkara yang akan menjadi pertanyaan dua malaikat didalam kubur.

Apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat tersebut, maka itulah kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan dan apa yang tidak akan ditanyakan, maka itu bukan termasuk kewajiban yang disyari’atkan. Itulah konsekwensi dari ucapan Syeikh Khajandi yang gegabah.

Padahal dalam referensi akidah Islam, tidak ada penegasan bahwa malaikat akan bertanya didalam kubur nanti tentang hutang-piutang, jual-beli dan beberapa bentuk muamalah yang lain.

Walau pun demikian masalah tersebut dan juga masalah-masalah lain yang tidak masuk dalam materi pertanyaan kedua malaikat tersebut, tetap menjadi permasalahan agama yang banyak dibahas oleh para ulama kita.

Jadi walaupun masalah
Taqlid kepada salah satu madzhab diantara Madzhab-madzhab yang empat tidak akan dipertanyakan oleh kedua Malaikat didalam Kubur nanti, bukanlah berarti dia harus disingkirkan dari pembahasan. Hal ini karena dalil-dalil tentang keharusan orang awam ber Taqlid kepada seorang Imam sangatlah valid dan logis sebagaimana nanti akan diuraikan secara lebih rinci.

Dengan demikian maka sebagaimana dikatakan oleh seluruh
Ulama dan kaum Muslimin bahwa kewajiban duniawi yang digantungkan dileher kaum Muslimin jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang akan ditanyakan oleh kedua malaikat didalam Kubur mereka.

KENAPA hanya IMAM MADZHAB yang 4 ( EMPAT ) yang jadi SOROTAN.

Kalau Syeikh Khajandi itu menghujat madzhab, maka mengapa yang menjadi sasarannya hanya Madzhab yang Empat…? Apa bedanya Madzhab Imam yang Empat ini dengan madzhab Zaid bin Tsabit r.a. , Mu’az bin Jabal r.a. , Abdullah bin ‘Abbas r.a. dan yang lainnya dalam hal memahami beberapa hukum Islam ? Apa perbedaan Madzhab yang Empat ini dengan madzhab ahlu al-Ra’yu di Irak dan madzhab ahlu al-hadits di Hijaz dan pelopor berdiri- nya dua madzhab ini adalah para sahabat nabi dan tabi’in yang terbaik ?

Bukankah mereka yang mengikuti imam madzhab yang empat dan madzhab-madzhab yang tersebut diatas adalah juga termasuk para mukallid…? Apakah Syeikh Khajandi itu akan mengatakan bahwa jumlah madzhab itu puluhan, bukan hanya empat dan semuanya bertentangan dan menyaingi madzhab Rasul
ullah saw....? Ataukah Syeikh Khajandi ini akan berkata bahwa madzhab-madzhab yang keluar dari agama dan memecah-belah madzhab Rasulullah saw hanyalah madzhab yang empat itu, sedangkan madzhab-madzhab yang sebelum mereka, semuanya adalah benar dan dapat berdampingan bersama madzhab Rasulullah saw…..?..

Kita tidak tahu mana diantara dua pertanyaan terakhir ini yang dipilih oleh Syeikh Khajandi. Namun yang jelas dari kedua-dua pernyataan terakhir diatas ini, yang paling manisnya adalah satu kepahitan dan yang paling utamanya adalah satu kedustaan. (Ahlaahuma murrun wa afdhaluhuma kazibun waftiro’un).

Dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad

a.
/ -- Firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya’ : 7 yang artinya :
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”.

Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqh menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah ber
Taqlid kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat diatas

Dalam surat At-Taubah : 122 yang artinya :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang).
Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk
memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada
kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”.

Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an jilid 8/293-294 diterangkan bahwa Allah swt. melarang manusia pergi berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian mereka meluangkan waktunya untuk mempelajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah swt.

b.
/ -- Ijma’ ulama bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa. Ibnu Khaldun berkata : " Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua ”.

Memang, para sahabat itu terbagi dua : Ada yang termasuk mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan seluruh sahabat.
Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang ber
Taqlid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti ketika menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti pasti menjelaskan dalil-dalil hukum itu.

Rasul
ullah saw. pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya.

Maka para penduduk didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat
tersebut, baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalahan yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun
Hadits, maka terhadap perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.

c.
/--  Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfajilid,11/385 pada bab Taqlid dan Istifta’
Bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali ber
Taqlid, berkata sebagai berikut :

“Kami berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa”.

d.
/--  Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata : " Ijma’ dimaksud adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in (sebelum munculnya orang-orang yang menyimpang) yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama.
Para ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak.

Dizaman sahabat, ( Madzhab Irak - Logika / Madzhab Hijaz - Hadits ).

Mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam bidang
Fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang Empat, Abdullah bin Mas’ud r.a. Abu Musa al-‘Asy’ari r.a. Mu’adz bin Jabal r.a. Ubay bin Ka’ab r.a.dan Zaid bin Tsabit r.a. Sedangkan para Sahabat nabi yang ber Taqlid kepada Madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.

e.
/-- Pada zaman tabi’in, daerah Ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada zaman itu
menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat Rasulullah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu Madzhab Ahlu al- Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits.

Diantara tokoh-tokoh Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah Alqamah bin Qais an-Nakha’I . Sa’id bin Jubair ; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu ber Taqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari.

Adapun tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi; ‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar.

Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa ber
Taqlid kepada Madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari.

Antara tokoh-tokoh kedua Madzhab diatas ini sering juga terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah ber Taqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka.

Begitu juga perdebatan yang terjadi diantara para Mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.

f.
/--  Syekh Abdullah Darras, berkata :
“Dalil logika untuk masalah ini adalah bahwa orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu masalah fiqih,

maka ada dua kemungkinan caranya bersikap :

Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’.

Kedua, dia melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan Taqlid.

Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlukan pemecahan hukum”.

Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an,
Hadits maupun dalil Aqli ( logika ) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan Ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali ber Taqlid kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil.

Maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya
Fatwa seorang Mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah untuk orang Mujtahid,
karena Al-Qur’an sebagaimana dia mengharuskan seorang yang
Mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan Fatwa seorang yang Mujtahid “.

Dalam hal ini
as-Syatibi berkata: “Fatwa-fatwa para Mujtahid bagi orang-orang awam adalah seperti dalil-dalil syar’i bagi para Mujtahid. Alasannya adalah karena bagi orang-orang awam yang Taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena mereka tidak mampu mengambil pengertian darinya. Maka masalah meneliti dalil dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak diperkenankan melakukan yang demikian itu.

Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman :

= Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui =  (Al-Anbiya’:7).

Orang yang
Taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.
Syekh Khajandi dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya ber
Taqlid kepada salah seorang dari Imam-imam Madzhab yang Empat telah menjadikan ucapan Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah sebagai dalil yang betul-betul telah mem- perkuat pendapatnya dan beliaupun tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan dari keTiga Imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari keTiga Imam itu tidaklah demikian adanya.

Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut diatas dan sanggahan/ jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti terhadap ucapan Syeikh Khajandi.

1-
/-- Syeikh Khajandi -- mengatakan bahwa beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam
kitabnya - Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai berikut:

( Faman akhodza bijamii’i agwaali abii Haniifah au jamii’i aqwaali Maaliki au jamii’I aqwaali Syaafi’i au jamii’i aqwaali Ahmad au ghoirihim wa lam ya’tamid ‘alaa maa jaa a fil kitaabi was sunnati faqod khoolafa ijmaa’il ummati kullihaa wa ttaba’a ghoiro sabiilil mu’minin. )

Artinya : “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’ seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukimin “.

Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.

Jawaban :
Terhadap kutipan tersebut, Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata :

" ( I’lam an haadzihil madzhaahibal arba’atal mudawwanatal muharrorota godij Tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi minhaa ‘alaa jawaazi taqliidihaa ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa yakhfaa laa siyyamaa fii haadzihil ayyaami allatii goshurat fiihaa lhimamu jiddan wa usyribati n nufuusu lhawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi. )"

Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya ber
Taqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini.
Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “

Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.

2-
/-- Syeikh Khajandi -- mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam mengharamkan orang berpegang pada Madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang Iimam Madzhab secara terus menerus.

Jawaban :
Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Asy-Syafi’i.

Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qowaa’idul Ahkam 11/135 :

( “Wayutstatsnaa min dzaalikal ‘aammatu fainna wadhiifatahum attaqliid li’ajzihim ‘anit tawassulli ilaa ma’rifatil ahkaam bil ijtihaadi bikhilaafil mujtahidi fainnahu goodirum ‘alaan nadhril muaddii ilal hukmi. Wa man gollada imaaman minal aimmati tsumma arooda ghoirohu fahal lahu dzaalika..? fiihi khilaafun, wal mukhtaarut tafshiilu fain kaanal madzhabul ladzii aroodal intigoola ilaihi mimma yangudhu fiihil hukma falaisa lahul intigoolu ilaa hukmi yuujibu nagdhohu, fainnahu lam yajibu nagdhohu illaa libuthlaanihi, fain kaanal akhdzaani mutaqooribaini jaazat taqliidu wal intigoolu liannan naasa lam yazaaluu min zamanis shohaabati ilaa an dhoharotil madzaahibul arba’atu yugolliduuna minit tafaqa minal ‘ulamaai min ghoiri nakiiri ahadin yu’tabaru inkaaruhu walau kaana dzaalika baathilan ankaruuhu”. )

Artinya : “Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad.
Berbeda dengan seorang mujtahid yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum.
Orang yang taqlid kepada seorang imam(dalam satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian..??..Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni :

a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan kebatalannya.

b) Jika dua madzhab itu berdekatan ( keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh pula berpindah-pindah.
Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang mereka temui.
Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”.

Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al- Qur’an maupun Hadits.

Imam Izuddin bin Abdussalam menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang Taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama.

Namun demikian beliau ini condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Syeikh Khajandi

3-. Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindahpindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban:
Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuthi telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul Qoyyim akan berpendapat seperti yang tersebut diatas. Karena beliau (Ibnul Qoyyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali.

Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168 :

( “ dzikru tafshiilil qouli fii ttaqliidi wangisaamuhu ilaa maa yahrumul qoulu fiihi wal iftaau bihii wa ilaa maa yajibul mashiiru ilaihi wa alaa maa yusawwighu min ghoiri iijaabin. Fa amman nau’ul awwalu fahua tsalaatsatu anwaa’in ahaduhumaa al i’roodhu ‘ammaa anzalallahu wa ‘adamul iltifaati ilaihi iktifaaan bitaqliidil aabaai, At tsaani taqliidu man laa ya’lamul mugollidu annahu ahlun la an yuukhodza bigoulihi, Attsaalitsu attaqliidu ba’da qiyaamil hujjah wa dhuhuurid daliil ‘alaa khilaafi goulil mugolladi “ Tsumma athoola ibnul Qoyyim fii sardi wa syarhi adhroori wa masaawi ittaqliidil muharromi alladzii hashorohu fii hadzihil anwaa’i tstsalaatsati. )

Artinya : “ Rincian pendapat tentang Taqlid dan pembagiannya kepada Ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni Taqlid yang haram terdiri dari tiga macam:
a). Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan Taqlid kepada nenek moyang.
b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantas diambil pendapatnya atau tidak.
c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang diTaqlid”.
Kemudian Ibnul Qoyyim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari Taqlid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut.

Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qoyyim yang panjang lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap Taqlid hanyalah berkisar pada tiga macam Taqlid yang merupakan bagian dari bentuk Taqlid yang pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain.

Ibnul Qoyyim mengatakan sebagai berikut :
“Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela orang-orang kafir yang Taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan Allah swt tidak mencela orang-orang yang Taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk { bahkan Allah swt memerintahkan mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl : 43}} yakni para ulama (dan itu berarti Taqlid kepada mereka).

Ayat An-Nahl : 43 ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui agar Taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama. Jawaban terhadap pernyataan diatas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih memilih Taqlid kepada nenek moyang mereka.
 

Taqlid seperti ini adalah Taqlid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam madzhab yang empat. Adapun Taqlid nya orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah swt namun sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia Taqlid kepada orang yang lebih alim darinya, maka Taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.

= berikutnya...Pembelaan Nashiruddin al-Albani terhadap Syeikh Khajandi
=         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar