Senin, 10 Januari 2011

NASHIRUDDIN al-ALBANI & WOLFGANG from GURUN GOBI.=Vol.3/3.--> 2/...



menghormati yang sudah wafat,. lebih utama daripada meluruskan kesesatannya

Taqlid – Dalam sorotan alBani al-Hanafi & al-Khajandi al-Mutazili.- 2.

Pembelaan Nashiruddin al-Albani atas kesesatan Syeikh Khajandi

Pendapat Syekh Khajandi, tersebut diatas mengenai pengharamannya untuk Taqlid pada satu imam.

tertentu dan sebagainya yang tersebut diatas ini dibenarkan oleh Nashiruddin al-Albani mati-matian, suatu hal yang meng- herankan sekali. Pembelaan Syeikh Al-Albani, tidak lain karena Syeikh Khajandi, ini sepaham dan satu kelompok golongan dengannya dan al-Albani, sengaja mentakwil kata-kata Syeikh Khajandi, yang salah ini agar tidak terus menerus menjadi sorotan ummat muslimin.

I
./-- Al-Albani al-Hanafi, mengatakan : “Sanggahan dan alasan yang dikemukakan Dr. Sa’id Ramdhan Buuthi terhadap pendapat Syekh Khajandi al-Mutazili, itu tidak benar. Dia (Albani) pembela Syeikh Khajandi al-Mutazili, ini mengatakan juga bahwa para sahabat dan ulama selama tiga abad tidak pernah menetapi satu madzhab tertentu”

Jawaban :
Dr. Sa’id Ramdhan
Buuthi membuktikan bahwa alasan yang dikemukakannya itu adalah benar. Syeikh Sa’id Ramdhan Al-Buuthi ini mengutip ucapan Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 1/21 :

( " Waddiinu wal fiqhu wal ‘ilmu intasyaro fil Ummati ‘an ashhaabi bni Mas’ud wa ashhaabi Zaidi bni tsaabit wa ashhaabi ‘abdillah bni ‘Abbas. Fa’ilmun Naasi ‘ammatan ‘an ashhaabi haaulaail arba’ati. Fa ammaa ahlul madiinati fa’ilmuhum ‘an ashhaabi Zaidi bni Tsaabit wa ‘Abdillahi bni ‘Umar. Wa ammaa ahlu makkata fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni ‘Abbas ra. Wa ammaa ahlul ‘iraaqi fa’ilmuhum ‘an ashhaabi ‘Abdillahi bni Mas’uud " ).

Artinya : “ Agama, fiqh dan ilmu tersebar ketengah-tengah ummat ini melalui para pengikut Ibnu Mas'ud , Zaid bin Tsabit , ‘Abdullah bin Umar dan ‘Abdullah bin ‘Abbas . Secara umum ummat Islam ini memperoleh ilmu agama dari mereka yang empat ini. Penduduk Madinah memperoleh ilmu dari para pengikut Zaid bin Tsabit dan ‘Abdullah bin Umar. Penduduk Mekkah memperoleh ilmu dari para pengikut Abdullah bin Abbas dan penduduk Iraq memperoleh ilmu dari para pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud “.

Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim. Bahkan dalam sejarah perkembangan syari’at Islam telah pula diketahui bahwa ‘Atho’ bin Abi Rabbah dan Mujahid pernah menjad
i Mufti di Mekkah dalam waktu yang cukup lama .

Dan penduduk Mekkah saat itu hanya mau menerima fatwa dari kedua Imam ini sampai-sampai khalifah yang memerintah saat itu sempat menyerukan agar orang-orang tidak mengambil fatwa kecuali dari dua Imam tersebut. Dan para ulama dari golongan tabi’in tidak ada yang mengingkari seruan khalifah itu. Begitu pula tidak ada yang menyalahkan sikap kaum muslimin saat itu yang hanya menetapi madzhab kedua imam tersebut.

II
./-- Syekh al-Albani al-Hanafi , membela beberapa pendapat Syeikh Khajandi al-Mu’tazili ,yang aneh dan telah menyimpang jauh dari kebenaran. Dia memberi takwil (perubahan arti) beberapa pendapat Syekh Khajandi al-Mutazili , berikut ini :

a.
/-- Kata-kata Syekh Khajandi : “Adapun madzhab-madzhab itu dia hanyalah pendapat para ulama, dan cara mereka memahami sebagian masalah serta bentuk dari Ijtihad mereka. Dan pendapat serta Ijtihad-ijtihad seperti ini, Allah swt, dan Rasul-Nya tidak pernah mewajibkan seseorang untuk mengikutinya”. Menurut al-Albani yang dimaksud ‘seseorang’ diatas adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk berIjtihad, bukan semua orang.

b.
/-- Kata-kata Syekh Khajandi : “Menghasilkan Ijtihad tidaklah sulit, cukup dengan memiliki kitab Muwattha’, Bukhari - Muslim , Sunan Abi Daud , Jaami’ at-Turmudzi dan Nasa’i. Kitab-kitab ini tersebar luas dan mudah diperoleh. Anda haruslah mengetahui kitab-kitab ini “.Menurut al-Albani ucapan Syeikh Khajandi ini juga khusus untuk orang-orang yang telah mencapai derajat mujtahid dan mampu mengistinbath hukum dari nash. Jadi bukan ditujukan kepada semua orang.

c.
/-- Kata-kata Syeikh Khajandi : “ Jika telah didapatkan nash dari Al-Qur’an , Hadits dan ucapan para sahabat , maka wajiblah mengambilnya , tidak boleh berpindah kepada fatwa para ulama ”.

Menurut al-Albani ucapan Syekh Khajandi ini khusus untuk orang yang telah mendalami ilmu syari’at dan memiliki kemampuan untuk menganalisa dalil dan madlulnya.

Jawaban :
( menghormati yang sudah wafat,. lebih utama daripada meluruskan kesesatannya.)

Pembelaan al-Albani kepada Syeikh Khajandi selalu diberikan takwil agar tetap dikesankan berada diatas kebenaran. Sedikitpun Nashiruddin al-Albani tidak mau menyalahkan Syeikh Khajandi. Bahkan ketika Dr. Sa’id Ramdhan berkata kepada al-Albani dalam satu pertemuan singkat dengannya-bahwasanya seorang ulama tidak akan menggunakan satu pernyataan yang sifatnya umum , lalu dia menghendaki maksud lain yang tidak sejalan dengan dzohir pernyataannya itu. Nashiruddin al-Albani menjawab bahwa Syeikh Khajandi itu adalah lelaki keturunan Bukhara yang menggunakan bahasa non Arab. Karenanya dia tidak memiliki kemampuan mengungkapkan sesuatu sebagaimana layaknya orang-orang Arab . Dia sekarang sudah wafat. Dan-karena dia seorang muslim , maka haruslah kita membawa ucapan-ucapannya itu kepada sesuatu yang lebih tepat dan pantas dan kita haruslah selalu ber-husnuz dhon (bersangka baik) kepadanya.---????....

Seperti inilah Syeik al-Albani berdalih Husnuz dhon kepada seorang muslim dia selalu menakwil ucapan-ucapan Syeikh Khajandi walaupun sudah jelas dan nyata menyimpang dari kebenaran . Tidak lain karena Syeikh Khajandi adalah orang yang sepaham dan satu kelompok dengan al-Albani. Kalau yang punya pendapat itu bukan dari kelompoknya, maka tentulahseperti sifat kebiasaan al-Albani-akan dibantahnya, dicela dan didamprat habis-habisan !!.

 Menurut Syekh Sa’id Ramdhan al-Buuthi, andai saja al-Albani itu mau menakwil ucapan-ucapan para tokoh Sufi seperti Syeikh Muhyiddin bin Arabi-seperempat saja dari takwilan yang diberikan kepada Syeikh Khajandi tidaklah dia akan sampai mengkafirkan dan menfasyikkan mereka (para sufi).

Syeikh Khajandi yang mengatakan bahwa Jika telah didapatkan nash - sampai fatwa para ulama ( baca keterangan pada II c diatas ) walaupun sudah dibela sama al-Albani namun Dr. Sa’id
Ramdhan al-Buuthi tetap membantahnya.

Dr. Sa’id Ramdhan
al-Buuthi berkata: Coba saja berikan kitab Imam Bukhari – Imam Muslim kepada semua kaum muslimin lalu suruh mereka memahami hukum-hukum agama dari nash-nash yang terdapat dalam kitab tersebut. Kemudian lihatlah kebodohan , kebingungan dan kekacauan yang akan terjadi.

Selanjutnya Syeikh Sa’id Ramdha al-Buuthi ini mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in 4/234 telah mengatakan sesuatu yang benar-benar berbeda dengan apa yang diucapkan oleh.Syeikh Khajandi yang telah didukung oleh al-Albani itu. Ibnul Qoyyim berkata :

( “ Alfaaidatu tsaaminah wal arba’uun idzaa kaana ‘indar rojuli ashshahiihaani au ahaduhumaa au kitaabun min sunani Rasulullahi saw. muutsagun bimaa fiihi fahal lahu an yuftiya bimaa yajiduhu fiihi ?...wash showaabu fii haadzihil mas alatit tafshiilu fain kaanat dalaalatul hadiitsi dhoohiratan bayyinatan likulli man sami’ahu laa yahtamilu ghoirol muroodi falahu an ya’mala bihi wa yuftiya bihi wa laa yathlubut tazkiyata lahuu min gouli fagiihi au imaamin balil hujjatu goulu Rasulullahi saw.

Wa in kaanat dalaalatuhu khofiyyatan laa yatabayyanul muroodu minhaa lam yajuz lahu an ya’mala wa laa yuftiya bimaa yatauwah-hamuhu muroodan hattaa yas-alu wa yathluba bayaanal hadiitsi wa wajhahu
…” ).

Artinya : “ (Faidah ke 48) : Apabila seseorang memiliki dua kitab sh
ahih (Bukhari & Muslim) atau salah satunya atau satu kitab dari sunnah-sunnah Rasulullah saw., yang terpercaya, bolehkan ia berfatwa dengan apa yang dia dapatkan dalam kitab-kitab tersebut ? Jawaban yang benar dalam masalah ini adalah melakukan perincian(tafshil).

Bila makna yang dikandung oleh
Hadits itu sudah cukup jelas dan gamblang bagi setiap orang yang mendengarnya dan tidak mungkin lagi diartikan lain, maka dia boleh mengamalkannya serta berfatwa dengannya tanpa harus meminta rekomendasi lagi kepada ahli Fiqh atau seorang Imam. Bahkan hujjah yang harus diambil adalah sabda Rasulullah saw. Akan tetapi bila kandungan Hadits tersebut masih samar dan kurang jelas maksudnya (bagi setiap orang ), maka dia tidaklah boleh mengamalkannya dan tidak boleh pula berfatwa dengannya atas dasar perkiraan pikirannya sehingga ia bertanya terlebih dahulu dan meminta penjelasan tentang Hadits itu “.

Selanjutnya Ibnul Qoyyim berkata :

( “ Wa hadzaa kulluhu idzaa tsammata nau’u ahliyyatin walakinnahuu gooshirun fii ma’rifatil furuu’I wa gowaa’idil ushuuliyyiina wal ‘arabiyyati. Wa idzaa lam takun tsammata ahliyyatun gotthu fafardhuhu maa goolahullahu ta’aalaa: Fas-aluu ahlad dzikri in kuntum laa ta’lamuun -An-Nahl :43 “).

Artinya : “ Semua yang dibicarakan diatas hanyalah apabila orang itu memiliki sedikit keahlian namun pengetahuannya dalam ilmu
Fiqh , kaidah-kaidah ushul Fiqh dan ilmu bahasa belum mencukupi. Akan tetapi apabila seseorang tidak memiliki kemampuan apa-apa, maka ia wajib bertanya, sebagaimana firman Allah swt. :

Maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai ilmu jika memang kamu tidak mengetahui’ (An-Nahl :43) “.

III
./-- Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Syeikh Khajandi al-Mu’tazili mengatakan telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf: Barang siapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah….dan seterusnya (baca keterangan sebelumnya) dan Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi telah membuktikan bahwa ucapan yang dikatakan Syaikh Khajandi dari Imam ad-Dahlawi itu adalah tidak benar.

Tujuan Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuthi membongkar ketidak benaran ucapan yang mengatas namakan ad-Dahlawi ini adalah agar mereka ( para pembela Syeikh Khajandi ) merenungkan masalah ini dan memeriksa kembali apa yang telah beliau buktikan ini . Dan seharusnya mereka (pembela-pembela Syeikh Khajandi ) berterimakasih dan menerima adanya kebenaran yang dibuktikan oleh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi dan kesalahan yang dilakukan oleh mereka.

Namun yang terjadi justru sebaliknya sebagaimana kebiasaan golongan ini
( Syeikh Khajandi dan al-Albani MANIA ) - mereka tidak senang dengan pelurusan-pelurusan yang Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuthi lakukan yakni menyingkap kebohongan yang mereka atas namakan kepada Imam ad- Dahlawi. Mereka (kelompok Syeikh Khajandi) bersusah-payah membuka lembar demi lembar kitab Ad-Dahlawi yang kira-kira cocok atau mendekati kebenaran dengan kutipan Syeikh Khajandi itu.

Pada akhirnya mereka ini berkata :

“ Kami telah memeriksa risalah al-Inshaaf karangan Imam ad-Dahlawi rahimahullah dan ternyata didalamnya terdapat sebagian ucapan yang disebut Syeikh Khajandi. Bunyi ucapan itu adalah :

" Ketahuilah bahwa kaum muslimin di abad pertama dan kedua hijriah tidak menyepakati
Taqlid kepada satu madzhab tertentu . Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Quutul Qulub mengatakan bahwa kitab-kitab dan kumpulan-kumpulan tulisan tentang Islam merupakan hal yang baru.

Dan pendapat yang berdasarkan ucapan orang banyak dan fatwa yang berdasarkan Satu Madzhab kemudian mengambil ucapan itu dan dan menyampaikannya menurut Madzhab tersebut, baik dalam urusan apa saja ataupun urusan Fiqh, semua itu tidak pernah terjadi pada dua abad yang pertama dan kedua . Melainkan manusia diketika itu hanya dua kelompok yaitu ulama dan orang-orang awam .

Berdasarkan informasi , orang-orang awam itu dalam masalah-masalah yang sudah disepakati yang tidak ada lagi perbedaan diantara kaum muslimin dan mayoritas Mujtahidin tidaklah mereka itu Taqlid kecuali kepada pemegang syari’at yakni Nabi Muhammad saw.. Jika mereka menemui satu masalah yang jarang terjadi , maka mereka meminta fatwa kepada mufti yang ada tanpa menentukan apa Madzhabnya “.

Namun demikian apabila kita perhatikan dengan seksama maka ucapan Imam ad-Dahlawi yang mereka kutip,tidak ada kaitannya sama sekali dengan ucapan Syeikh Khajandi yang mengatasnamakan mengutip kitab Imam ad-Dahlawi. Untuk memperkuat pembelaaan terhadap Syeikh Khajandi mereka juga mengatakan: Adapun ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya terdapat dalam kitab Hujjatulloohil Baalighah jilid 1/154-155. Dimana Imam ad-Dahlawi mengutip ucapan Ibnu Hazmin

( “ Goola Ibnu Hazmin : Innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri Rasulullahi saw. bilaa burhaanin”).

Artinya : “ Ibnu Hazmin berkata : Taqlid itu haram dan seseorang dengan tanpa dalil tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulullah saw.’ ”. Berikutnya mereka membeberkan ucapan-ucapan Imam ad-Dahlawi lainnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin

Jawaban : dengan cukup panjang.

Padahal ucapan Imam ad-Dahlawi yang sebenarnya sebagai hasil kutipan dari Ibnu Hazmin, bukanlah seperti itu . Perhatikanlah keterangan Imam ad-Dahlawi, berikut ini :

( “ I’lam an hadzihil madzaahibal arba’atal mudawwanatal muharrorota godij tama’atil ummatu au man yu’taddu bihi ‘alaa jawaazi taqliidihaa ilaa yauminaa haadzaa wa fii dzaalika minal mashoolihi maalaa yakhfaa laa siyyamaa fii haadzihil ayyaamil latii goshurat fiihal himamu jiddan wa usyribatin nufuusul hawaa wa a’jaba kullu dzii ro’yin biro’yihi ).

Artinya : “Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada
Empat Madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini . Dan dalam hal mengikuti Empat Madzhab tersebut terdapat maslahat(kebaikan) yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang , jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri."

Selanjutnya Imam ad-Dahlawi al-Hanafi,
langsung berkata :

( “ Famaa dzahaba ilaihi ibnu Hazmin haitsu goola innat taqliida haraamun wa laa yahillu liahadin an ya’khudza qoula ahadin ghoiri rasulullahi saw. bilaa burhaanin…innamaa yatimmu fiiman lahu dhorbun minal ijtihaadi walau fii mas-alatin waahidatin “).

Artinya : “Maka pendapat Ibnu Hazmin yang mengatakan : " Sesungguhnya
Taqlid itu haram dan tidak boleh bagi seseorang-dengan tanpa dalil-mengambil ucapan orang lain selain dari ucapan Rasulullah saw….barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan ber Ijtihad walaupun pada satu masalah ”.

Demikianlah sebenarnya kelengkapan ucapan Imam ad-Dahlawi al-Hanafi , dalam Hujjatulloohil Baalighah. Maka kita bisa bandingkan sendiri kutipan para pembela Syeikh Khajandi
 ( Syeikh Khajandi / Fans Club )  itu dengan ucapan Imam ad-Dahlawi al-Hanafi, yang sebenarnya. Mereka hanya mengutip sampai kata-kata ….Tidak boleh mengambil ucapan orang lain selain ucapan Rasulullah saw. dan mengenyampingkan / membuang terusan kalimat itu justru yang paling penting dan inti dari sebuah pendapat yaitu …barulah bisa tepat dan sempurna terhadap orang yang memiliki kemampuan berijtihad walaupun pada satu masalah. Begitulah sifat kebiasaan golongan ini sering membuang/mengenyampingkan kalimat-kalimat aslinya atau kalimat-kalimat lain yang berlawanan dengan faham mereka.

Beginilah kefanatikan golongan ini terhadap
Imam-imam mereka sampai-sampai mereka berani merekayasa dan membuang ucapan para Imam lainnya demi untuk menegakkan dan membenarkan pendapat-pendapat yang sudah terlanjur dikeluarkan/ditulis oleh Imam-imam mereka atau oleh mereka sendiri. Sifat mereka seperti ini jelas telah menunjukkan kefanatikan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kefanatikan para pengikut Madzhab Empat terhadap Imam-imamnya. Yang mana kefanatikan para pengikut Madzhab yang Empat ini selalu dicela oleh golongan ini.

Para pengikut
Madzhab yang Empat-betapapun fanatiknya mereka-tidaklah akan berani merekayasa atau membuang ucapan-ucapan para imam lainnya demi untuk mempertahankan pendapat mereka atau pendapat imam-imam mereka. Renungkanlah !

IV
./-- Nashiruddin al-Albani dalam rangka menyalahkan pendapat Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuthi  yang hanya membagi manusia menjadi kelompok yaitu Mujtahid dan Muqallid tanpa menambahkan adanya kelompok ketiga yakni Muttabi’, mengetengahkan dalil dari kutipan ucapan Imam as-Syatibi dalam kitab beliau.

Al-I’tishom. Al-Albani mengutip sebagai berikut:
Badan Sensor AlBani
(“ Almukallafu biahkaamis syarii’ati laa yakhluu min ahadin umuurin tsalaatsatin : ahaduhumaa an yakuuna mujtahidan fiihaa fahukmuhu maa addaahu ilahi ijtihaaduhu fiihaa. Wats tsaanii an yakuuna mugallidan shirfan kholiyyan minal ‘ilmil haakimi jumlatan falaa budda lahu min gooidin yaguuduhu. Wats tsaalitsu an yakuuna ghoira baalighin mablaghal mujtahidiina lakinnahuu yafhamud daliila wa maugi’ahu wa yashluhu fahmuhu lit tarjiihi ).

Artinya : “ Orang yang terkena beban hukum syari’at (mukallaf) tidaklah terlepas dari tiga perkara ; Pertama > ia adalah seorang mujtahid dalam bidang syari’at, maka hukumnya adalah melaksanakan apa yang menjadi hasil ijtihadnya. Kedua > ia adalah mukallid murni yang sama sekali kosong dari ilmu , maka hukumnya harus ada orang yang membimbingnya . Ketiga > ia tidak mencapai tingkatan para mujtahidin namun ia memahami dalil dan kedudukannya serta pemahamannya pantas untuk melakukan tarjih 
                                                                  
Jawaban :
Sampai disini al-Albani dan kawan-kawannya menulis/menyudahi keterangan Imam as-Syatibi padahal masih ada kelanjutannya yang justru bagian terpenting dari keterangan Imam as-Syatibi menyangkut kedudukan orang yang masuk bagian ketiga yakni Muttabi’. Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ini mempersilahkan semua orang untuk memeriksa kitab Al-I’tishom jilid 111 halaman 253 guna melihat bagian terpenting yang sengaja dibuang oleh al-Albani dan kawan-kawannya. Berikut keterangannya :

“(Untuk
Muttabi’ ini) kemampuan tarjih dan analisanya pun tidaklah lepas daripada diterima atau tidaknya. Jika tarjihnya itu diterima, maka jadilah ia seperti Mujtahid dalam masalah itu dan Mujtahid hanyalah mengikut kepada ilmu yang dapat menjadi pemberi putusan (hakim). Dia haruslah memperhati kan ilmu itu dan tunduk kepadanya. Maka siapa yang menyerupai Mujtahid jadilah dia seorang Mujtahid.
Lalu jika kita tidak menerima tarjihnya itu, maka mestilah dia kembali kederajat orang awam (mukallid). Dan orang awam hanyalah mengikuti Mujtahid dari segi ketundukannya kepada kebenaran ilmu yang dapat memberi putusan. Begitu juga halnya orang-orang yang menduduki posisinya “.

Dengan keterangan diatas jelaslah bahwa menurut pandangan Imam as-Syatibi kedudukan Muttabi’ pada akhirnya akan sama seperti Mujtahid kalau ia telah mencapai derajatnya dan ia akan kembali seperti orang awam kalau ia belum mampu mencapainya. Akan tetapi sayang sekali al-Albani dan kawan-kawannya justru memotong/membuang bagian terpenting dari penjelasan Imam as-Syatibi itu.

Akhirnya Dr.Sa’id Ramdhan
al-Buuthi berkomentar : “Bagaimana seorang muslim dapat mempercayai agama seseorang yang memutar balikkan fakta suatu tulisan bahkan mengubah kalimat dari tempatnya yang semula sebagai-mana anda sendiri telah melihatnya.

Bagaimana seorang muslim harus percaya kepadanya untuk mengambil hukum syari’at dan mempercayai ucapannya yang telah banyak membodoh-bodohkan para
Imam Mujtahid ?
Beginilah sebagian wejangan dan bantahan Syekh Said Ramdhan al-Buuthi terhadap ucapan Syeikh Khajandi yang semuanya ini saya kutip dari buku Argumentasi Ulama Syafiiyyah oleh Ustadz Mujiburrahman.

...ada juga MADZHAB IRANi ...juga MADZHAB ARAB NEJDi.

  
 ISLAM ...............................
..........adakah ANDA disana
kunjungi BANGSAL mereka -->

http://thesaltasin-exe.blogspot.com/
http://thesaltasin.wordpress.com/
http://filarbiru.wordpress.com/
http://www.majelisrasulullah.org/ 


Halaman 3 akan semakin terbuka ..Sang Al-Bani...Sang Penghujat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar