Sabtu, 01 Januari 2011

NASHIRUDDIN al-ALBANI & WOLFGANG from GURUN GOBI. =Vol.3/3.--> 3/3.


NASHIRUDDIN al-ALBANI & WOLFGANG from GURUN GOBI.

Taqlid - Dalam sorotan alBani al-Hanafi & al-Khajandi al-Mutazili 

Pendapat sebagian ulama yang berkaitan dengan masalah diatas ini :

1/. Al-Hafidh Ibn Abd.Al-Barr dalam Jami’ Bayan Al-‘Ilm Wa Fadhlih II :112, telah meriwayatkan perkataan Sulaim At-Taimy ; “Jika kamu mengambil rukhsah atau keringanan setiap orang ‘alim, maka terkumpullah padamu segala kejahatan (dosa)”. Kemudian lanjutnya : “Ini kesepakatan atau ijma’, dan (saya) tidak mengetahui ada orang yang menentangnya”.

2/. Imam Nawawi dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab nya mengatakan : “Jika seseorang dibolehkan mengikuti madzhab apa saja yang dikehendakinya, maka akibatnya dia akan terus-terusan mengutip (mengambil) semua rukhsah (keringanan) yang ada pada setiap madzhab demi memenuhi kehendak hawa nafsunya. Dia akan memilih-milih antara yang mengharam- kan (sesuatu masalah) dan yang menghalalkannya, atau antara yang wajib dan yang jawaz (boleh atau sunnah). Hal demikian akan mengakibatkan terlepasnya (dia) dari ikatan taklif (beban)”. Senada dengan pendapat Imam Nawawi ini disampaikan juga oleh Al-Hafidz Ibn Al-Shalah dalam kitabnya Adab Al-Mufty wa Al-Mustafty I :46.

3/. ‘Allamah Al-Syathiby
dalam Al-Muwafaqat-nya mengatakan : “...maka sesungguhnya perbuatan itu mengakibatkan (kebiasaan) mencari-cari keringanan atau rukhsah dari para ulama madzhab tanpa bersandar pada dalil syara’. Menurut Ibn Hazm, para ulama sepakat bahwa kebiasaan itu merupakan kefasikan (kedurhakaan) yang tidak halal (untuk dilakukan). Maksud Al-Syatiby katakata tanpa bersandar pada dalil syara’ialah tanpa dalil syara’ yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan atau dalil yang muktabar. Jika tidak begitu maksudnya, maka ada orang yang meninggalkan sh
alat wajib dengan berdalil pada firman Allah swt. Al-Ma’un : 5 ;‘Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat’.

4/. Al-Hafidh Al-Dzahaby dalam Siyar A’lam Al-Nubala’ mengatakan : “Siapa yang mencari-cari keringanan (ulama) berbagai Madzhab dan (mencari-cari) kekeliruan para Mujtahid, maka tipislah agamanya”. Hal seperti ini juga dikatakan oleh Al-Awza’iy dan yang lainnya: “Siapa yang mengambil pendapat orang-orang Mekkah dalam hal nikah mut’ah, orang-orang Kufah dalam hal nabidz (anggur), orang-orang Medinah dalam hal ghina (lagu-laguan) dan orang-orang Syam dalam hal ‘Ishmah (keterpeliharaan dari dosa) para khalifah, maka sungguh dia telah mengumpulkan kejahatan (pada dirinya)”.

Demikianlah pula orang-orang yang mengambil pendapat ulama yang mencari-cari siasat untuk menghalalkan jual-beli yang berbau riba atau yang mempunyai keleluasaan dalam masalah thalaq serta nikah tahlil dan lain sebagainya. Orang-orang seperti itu sesungguhnya telah mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari ikatan taklif (beban).

5/. Imam Al-Hafidh Taqiyyduddin Al-Subky dalam Al-Fatawa nya I : 147 menjelaskan tentang orang-orang yang suka mencari-cari keringanan dari berbagai
Madzhab. Dia mengatakan: “Mereka menikmati (dirinya), karena dalam kondisi seperti itu mereka mengikuti hawa nafsunya dan bukan mengikuti agamanya”. Termasuk dalam kategori ini adalah orang yang suka memilih pendapat yang paling cocok buat dirinya dan mengikuti dari satu Madzhab yang sesuai dengan pilihannya. Sebagian orang pada zaman sekarang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan pada Hadits dari Siti ‘Aisyah ra yang menyatakan: “Setiap kali Rasulallah saw. dihadapkan kepada dua pilihan, beliau selalu mengambil yang paling mudah diantara keduanya”.

Pengambilan dalil seperti ini adalah tidak tepat sekali. Al-Hafidh Ibn Hajar Al-‘Asqalany dalam Al-Fath Al-Bari VI : 575 dalam syarh-nya mengatakan : Dua perkara (dua pilihan pada
Hadits tersebut) yang berhubungan dengan urusan duniawi. Hal itu di-isyaratkan oleh kata-kata selanjutnya (dalam hadits ‘Aisyah): ‘Jika bukan perbuatan yang (mengandung) dosa’. Jika yang dimaksud (dua pilihan) adalah urusan agama, maka tidak ada dosanya.

Allah swt. mewahyukan kepada Rasul-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh mu untuk melakukan ini atau melarang melakukan ini. Sama sekali tidak disebutkan terdapat dua atau tiga pendapat dalam suatu masalah, atau mengambil yang paling mudah dan ringan saja.

Rasul
ullah saw. pernah bertamu pada seseorang. Lalu seseorang ini berkata kepada Rasulullah saw. : Apakah aku harus menyediakan cuka (makanan asam) atau daging ? Dalam keadaan seperti itulah (urusan duniawi) Rasulullah saw. akan memilih dan mengatakan ; Berikanlah kepadaku yang paling mudah bagimu.

Dengan demikian, jelaslah bahwa mengikuti pendapat yang membolehkan untuk memilih-milih pendapat yang paling ringan dan mudah berdasarkan Hadits Siti ‘Aisyah itu tidak menggunakan dalil yang tepat. Atau, mungkin dia berkeinginan untuk memasukkan kerancuan dan keraguan kepada hati orang-orang awam (biasa), bahwa apa yang dibawa dan dilakukannya itu boleh menjadi dalil bagi apa saya yang dia kehendaki.

Kita muslimin tidak akan mengingkari samahat (keluwesan, kemudahan dan kelapangan) dalam syari’at Islam. Yang dimaksud samahat dalam syari’at Islam ini ialah keringanan yang diberikan oleh Allah swt., umpamanya:
A./-- Orang yang sakit diperbolehkan melakukan shalat dengan duduk, sambil berbaring, atau dengan cara lain sesuai dengan kemampuannya.
B./-- Orang yang akan bersuci baik untuk menghilangkan hadats atau menghilangkan najis tetapi dia tidak mendapatkan air atau takut berbahaya jika menggunakan air, maka dia diberi keringanan untuk menggunakan tanah (tayammum) sebagai ganti air.
Dengan demikian, hal itu tidak berarti bahwa seorang Muslim dengan dalih adanya kemudahan, keluwesan dan keringanan dalam Islam ini, lantas boleh mencari-cari yang paling mudah atau paling ringan menurut pikirannya dari sekian banyak pendapat ulama, bahkan pendapat yang paling lemah sekalipun.

Ada sebagian orang yang membolehkan seseorang mencari-cari keringanan dan mengambil ajaran yang paling mudah dengan berdalilkan sebuah
Hadits: Ikhtilaf ummatku adalah rahmat. Hadits ini disebutkan oleh Al-Hafidh Al-Muhaddits Sayyid Ahmad bin Al-Shiddiq Al-Ghimari dalam kitabnya Al-Mughayyir Al-Ahadits Al-Maudhu’ah . Dia menyatakan bahwa Hadits ini Maudhu’ (dibuat-buat). Juga Hadits yang lain: Sesungguhnya Allah menyukai untuk diterima Rukhsah atau keringanan-Nya sebagaimana Dia suka dipenuhi ketetapan (yang) wajib-Nya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Baihaqy dan lain-lainnya.

Jika diperhatikan secara seksama, tidak ada alasan untuk menggunakan
Hadits-hadits itu sebagai dalil bolehnya mencari-cari keringanan atau kekeliruan para ulama. Walaupun umpamanya Hadits-hadits itu Shahih, kita tidak bisa menyamakan maksud Rukhsah / Samahat Allah swt.( tentang bertayammum ) bila tidak ada air atau ketika tidak boleh menggunakan air karena akan menimbulkan bahaya. Juga tidak sama maksudnya dengan bolehnya ( berbuka puasa ) dibulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian, ( dan tidak sama maksudnya dengan bolehnya atau Rukhsah/ Samahat tentang Qashar / Penyingkatan Shalat wajib bila dalam perjalanan,-- pen.) .

Hal-hal seperti itu berbeda dengan mencari-cari dan mengikuti segala keringanan dan perkataan atau pendapat dari para ulama. Boleh jadi para ulama itu benar pendapatnya dalam suatu masalah, tetapi salah dalam masalah yang lain.

Sudah tentu kita harus menghargai pendapat para ulama yang dalam
Ijtihadnya tidak mendahulukan kehendak hawa nafsunya dan tidak terlalu fanatik buta, meskipun pendapat para ulama ini bertentangan dengan pendapat kita.
Secara lahiriah, para mujtahid yang telah memenuhi syarat sebagai mujtahid sesungguhnya ingin mencari keridhaan Allah swt. dan berkeinginan untuk mendapatkan yang hak atau benar, asalkan pendapat- nya itu jauh dari hal-hal yang Syadz atau aneh atau dengan kata lain tidak bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) kebanyakan ulama.

Sedangkan orang-orang yang melakukan
Ijtihad mengenai hal-hal yang semestinya tidak perlu diijtihad, atau hal-hal yang bertentangan dengan ijma’ ulama, tidak sejalan dengan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus kita jauhi. Apalagi orang-orang yang Ijtihad ini menganggap dirinya seorang mujtahid yang jika ia salah tetap mendapat satu pahala dan jika ia benar mendapat dua pahala, seraya mengaku atau menyamakan dirinya sebagai kelompok ulama besar. Orang-orang ini kadang-kadang memperlihatkan keberaniannya/ tanggung jawabnya dalam mengambil kesimpulan hukum Islam. Mereka ini sering juga mengaku dirinya sebagai seorang Reformer ( pembaharu ) atau juga sebagai seorang Innovator ( seorang ahli pikir ), padahal sesungguhnya dia tidak mempunyai kemampuan apa-apa.

Maka bila kita berhadapan dengan orang-orang semacam ini, tidak perlu dipertimbangkan lagi dia sudah pasti berdosa karena telah sesat bahkan menyesatkan orang lain. Segala perkataannya harus ditinggalkan sejauh-jauhnya. Hanya milik Allah-lah segala urusan.

Demikianlah sebagian kutipan dari buku Shalat bersama Nabi saw. tentang haramnya orang yang sering mencari-cari keringanan untuk suatu masalah hukum Islam. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. Amin…= Wassalam.

 JADIKAN MEREKA SUMBER
    INSPIRASI dan ASPIRASI
    inovasi-motivasi-modernisasi

Sumber : INILAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH.
Oleh : A.Shihabuddin.FSI.doc.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar